• Kam. Okt 9th, 2025

Ketahanan Pangan di Nusa Tenggara Timur: Dari Inisiatif Sorgum Lokal Hingga Target Swasembada Garam Nasional

ByWahyu Rahman

Sep 17, 2025

Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi sorotan utama dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional. Di satu sisi, masyarakat lokal di Pulau Lembata berinovasi dengan sorgum untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Di sisi lain, pemerintah pusat menargetkan provinsi ini sebagai lokasi kunci untuk mencapai swasembada garam pada tahun 2027. Kedua upaya ini, baik dari tingkat akar rumput maupun kebijakan nasional, menunjukkan peran strategis NTT dalam menjaga masa depan pangan Indonesia.

Inisiatif Lokal Melawan Perubahan Iklim di Lembata

Di Desa Tapobali, pesisir selatan Pulau Lembata, sekawanan anak-anak bergegas keluar dari SMPN 4 Wulandoni. Dengan sabit di tangan, mereka menuju ladang sorgum untuk memanen malai yang bernutrisi dan mengumpulkannya ke dalam keranjang anyaman.

“Sebagian hasil panen kami jual, sisanya menjadi bahan baku untuk membuat kue,” ungkap Yudi Fridolin Atawolo, seorang guru Bahasa Inggris di sekolah tersebut. “Hasil penjualannya digunakan untuk membeli perlengkapan sekolah dan dibagikan kepada para siswa.”

Momen panen ini menjadi tonggak penting bagi Ambrosia Ero dan Hendrikus Bua Kilok. Tiga tahun lalu, keduanya turut mendirikan Gerep Blamu Tapobali Wolowutun (Gebetan), sebuah organisasi masyarakat sipil yang digerakkan oleh anak-anak muda di Tapobali. Misi mereka sederhana: membawa solusi praktis untuk menjaga ketahanan pangan di desa mereka.

“Saya dan Ambrosia mencoba membentuk sebuah komunitas yang fokus pada pertanian berbasis pangan lokal dan konservasi mata air sebagai cara untuk melindungi dan menopang desa kami sendiri,” jelas Hendrikus, yang berusia akhir 20-an.

Desa Tapobali, yang hanya berpenduduk 367 jiwa, menghadapi tantangan geografis yang tidak mudah. Akses menuju Lewoleba, ibu kota kabupaten, terkendala oleh jalan yang rusak dan biaya transportasi yang mahal. Sinyal telepon seluler pun sangat terbatas. Tantangan ini diperparah oleh kondisi iklim yang ekstrem. Wilayah ini dapat mengalami kekeringan hingga sembilan bulan, dan model perubahan iklim memprediksi cuaca akan menjadi lebih panas dan kering di masa depan.

Banyak warga Tapobali masih ingat bencana kelaparan akibat gagal panen jagung dan padi pada tahun 2003 dan 2014. Tahun lalu, akibat kekeringan yang diperparah oleh fenomena El Niño, hasil panen jagung di beberapa desa di Lembata anjlok lebih dari separuh. Menurut Koalisi Pangan Baik, sebuah LSM lokal, suhu yang lebih panas dan curah hujan ekstrem juga telah meningkatkan serangan hama dan penyakit tanaman.

Sorgum: Jawaban Atas Krisis Pangan

Menghadapi prospek iklim yang semakin ganas, Ambrosia dan Hendrikus melihat sorgum sebagai solusi. Tanaman serealia ini dikenal tangguh dan mampu tumbuh di lahan marginal yang kering, kondisi yang sangat cocok untuk tanah Lembata. Sorgum, atau yang juga dikenal sebagai jawawut, telah menjadi tanaman pangan penting selama berabad-abad di India dan Tiongkok, serta menjadi makanan pokok di sebagian besar Afrika.

Komunitas Gebetan memulai aksinya dengan menanam bibit bambu dan pohon trembesi untuk membantu menjaga cadangan air tanah. Kemudian, mereka bermitra dengan Yaspensel, sebuah organisasi masyarakat sipil lokal, untuk mendapatkan pelatihan mengenai isu-isu perubahan iklim.

Melalui survei pengetahuan lokal, mereka menemukan bahwa meskipun masyarakat menanam berbagai jenis kacang-kacangan dan umbi-umbian, pengalaman menanam sorgum masih terbatas. Namun, beberapa petani tua bercerita tentang generasi sebelumnya yang memanfaatkan sorgum liar varietas hitam yang dikenal dengan nama lokal kfarfolot.

“Pangan lokal ini sebenarnya sudah ada sejak zaman nenek moyang kami, tetapi tidak pernah dibudidayakan secara serius,” kata Ambrosia.

Berbekal pengetahuan ini, para relawan Gebetan mulai menyosialisasikan manfaat sorgum sebagai cara beradaptasi terhadap perubahan iklim. Para siswa di SMPN 4 Wulandoni diajarkan cara mengolah sorgum menjadi kue. Tak butuh waktu lama, ladang-ladang yang sebelumnya ditanami jagung dan padi kini mulai dihiasi oleh tanaman sorgum yang berbunga. Tahun lalu, Gebetan bahkan membuka lahan kosong di belakang sekolah untuk ditanami sorgum.

Kini, inisiatif mereka telah mendapatkan pengakuan lebih luas. The Samdhana Institute, sebuah organisasi masyarakat sipil terkemuka di Asia Tenggara, memberikan pendanaan sebesar Rp 83 juta (sekitar $5.000) untuk mendukung usaha kecil yang menjual kue sorgum buatan siswa dan kopi sangrai yang dicampur dengan sorgum.

Target Nasional: Swasembada Garam pada 2027

Sementara komunitas di Tapobali bergerak dari bawah, pemerintah pusat juga meluncurkan program skala besar untuk memperkuat ketahanan nasional. Dalam rapat dengar pendapat dengan parlemen pada hari Selasa, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengumumkan target ambisius untuk mencapai swasembada garam pada tahun 2027.

Wakil Menteri Didit Herdiawan melaporkan bahwa permintaan garam mentah domestik pada tahun 2024 dan 2025 diperkirakan mencapai 4,9 juta ton, dengan pertumbuhan sekitar 2,5 persen per tahun seiring dengan pertumbuhan populasi dan industri. Untuk tahun ini, produksi garam dalam negeri ditargetkan sebesar 2,25 juta ton. Ditambah dengan stok yang ada sebesar 836.000 ton, pasokan lokal diproyeksikan baru dapat memenuhi sekitar 63 persen dari kebutuhan nasional.

Untuk menutupi kesenjangan tersebut, KKP telah meluncurkan proyek tambak garam seluas 13.000 hektare di Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi hingga 2,6 juta ton. Selain itu, perbaikan tambak garam yang sudah ada juga direncanakan, dengan harapan dapat meningkatkan hasil hingga 30 persen.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Koswara, Indonesia sebenarnya telah mencapai swasembada untuk garam konsumsi rumah tangga. Namun, negara masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Proyek besar di NTT ini diharapkan dapat mengatasi ketergantungan tersebut dan menjadikan Indonesia berdaulat dalam produksi garam.